samedi 12 mai 2007

MUSEUM POS INDONESIA ADA DI BANDUNG

wisata
Museum Pos Tak Sekadar Prangko

Mendengar kata pos, yang terbayang langsung adalah prangko. Ini tak salah mengingat prangko begitu identik dengan dunia pos meski pos sebagai produk peradaban manusia sesungguhnya mengalami sejarah panjang. Prangko adalah penemuan jauh sesudah praktik pos mulai dijalankan.

Museum Pos Indonesia berada di Jalan Cilaki Nomor 73, Bandung. Tak sulit untuk mencari museum ini karena lokasinya menyatu dengan Gedung Sate. Tepatnya ada di sayap timur gedung pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat itu. Pengunjung bisa masuk ke museum tanpa dipungut uang tiket. Ruang pameran terdiri atas dua lantai. Lantai satu yang lebih rendah dibandingkan dengan permukaan tanah itu terbagi menjadi beberapa ruangan.

Memang ada koleksi ratusan ribu prangko dalam dan luar negeri dipamerkan, tetapi di sana juga dipamerkan berbagai tiruan benda-benda bersejarah yang terkait dengan pos serta metode dan peralatan pos dari masa ke masa.

"Koleksi prangko di sini berasal dari 178 negara," kata Yaya Satiya, petugas museum. Sebagian koleksi prangko dipajang dalam papan-papan kayu yang dilindungi kaca sehingga bisa dinikmati langsung. Tetapi, ada sebagian koleksi yang hanya bisa dilihat dengan bantuan petugas sebab koleksi itu ditempel pada papan-papan yang disatukan secara vertikal. Sekilas papan-papan yang disatukan itu seperti lemari kayu dengan ukuran 1,5 meter x 1 meter x 2,5 meter.

Ada beberapa "lemari" di lantai itu. Tiap lemari dilengkapi palang besi dan dikunci. Masing-masing sisi papan berisi keterangan tentang negara asal prangko. Pengunjung tinggal memilih nama negara yang dikehendaki, lalu papan itu ditarik keluar. "Prangko-prangko ini sudah sangat lama dan langka. Karena itu, melihatnya harus ditemani petugas. Itu pun tidak boleh beramai-ramai," kata petugas lainnya, Supriyati.

Menurut wanita yang biasa dipanggil Yati itu, usia dan kelangkaan prangko jenis tertentu bisa membuat harganya sangat mahal. "Kata orang yang paham filateli, di sini ada prangko yang jika dijual bisa sampai miliaran rupiah. Itulah sebabnya, prangko-prangko ini tak bisa diperlihatkan sembarangan," tuturnya. Yati sendiri mengaku tak tahu mana prangko yang mahal itu. "Saya tidak memahami seluk- beluk prangko, dan memang tidak boleh. Kalau paham, bisa jadi kami malah tergoda pada nilai uangnya," kata Yati tertawa. Untuk menghindari pencurian, museum sudah dilengkapi beberapa kamera pengintai.

Di museum ini terpasang juga lukisan prangko pertama di dunia, "The Penny Black". Prangko ini aslinya terbit tahun 1840 di Inggris dengan gambar kepala Ratu Victoria. Tak jauh dari lukisan itu ada gambar penciptanya, seorang pekerja dinas perpajakan Inggris bernama Sir Rowland Hill. Di sana diterangkan juga bahwa sebelum ada prangko, biaya pengiriman surat ditanggung oleh si penerima. Cara ini kemudian dihentikan karena ada kejadian seorang yang dikirimi surat menolak menerima untuk menghindari kewajiban membayar.

Kalau prangko pertama di dunia hanya berupa lukisan, di museum ini tersimpan koleksi prangko pertama Indonesia. Prangko berwarna merah anggur dengan gambar Raja Willem III itu diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 April 1864. Harga nominalnya saat itu 10 sen.

Surat raja-raja
Di lantai dasar museum juga terdapat ragam peralatan pos dari abad ke abad. Antara lain bermacam bentuk bis surat yang dikumpulkan dari seluruh Nusantara. Koleksi kuno lainnya adalah sebuah gerobak besi yang dulu digunakan untuk mengangkut surat dari kantor pos ke stasiun kereta api. "Dulu memang ada pos kereta api, ada juga pos kapal laut," kata Yati.

Koleksi yang diambil dari masa sekarang adalah sebuah mesin penjualan prangko otomatis. "Mesin ini sudah rusak, makanya ditempatkan di sini," kata Yati. Sebuah ruangan yang terletak di pojok berisi poster-poster golden letter (surat emas), yakni poster surat-surat kuno pada zaman kerajaan-kerajaan, seperti Mulawarman, Sriwijaya, Tarumanegara, dan Majapahit. Disebut golden letter karena konon surat-surat itu dulu ditulis dengan tinta emas menggunakan bahasa dan huruf kuno.

Sayangnya, huruf pada poster yang merujuk surat aslinya itu tak lagi mengilap sepenuhnya seperti emas. "Mungkin karena surat aslinya sudah sangat tua sehingga warna emasnya sudah pudar," kata Yati. Lantai dasar juga memuat foto-foto direktur PT Pos (dulu Kantor Pos, Telepon, dan Telegrap) sejak zaman Belanda hingga sekarang. Dipamerkan juga miniatur ruang kerja Mas Suharto, yakni kepala Kantor PTT di awal kemerdekaan yang hilang diculik Belanda.

Masih banyak koleksi lain, seperti foto-foto kuno dan patung- patung yang menunjukkan aktivitas perposan Indonesia dari masa ke masa. Sayangnya, semua koleksi berupa benda tak bergerak. Perlu memainkan imajinasi agar perjalanan sejarah pos itu terasa lebih mengesankan. Satu-satunya "koleksi" yang bergerak adalah aktivitas para pegawai di kantor pos yang berada di lantai satu. Kantor Pos Cabang Cilaki ini jadi satu dengan ruangan filateli.

"Adanya kantor pos sebenarnya dimaksudkan agar pengunjung bisa secara langsung melihat proses kerja pos," kata Yaya. Namun, karena proses kerja pos di kantor pos cabang itu kurang lengkap, pengunjung yang ingin mengetahui proses secara lengkap kemudian diarahkan ke kantor pos pusat di Jalan Asia Afrika. Masih ada lagi ruang galeri yang juga berisi koleksi prangko dan beberapa benda pos lainnya. Ruangan ini lebih dimaksudkan untuk memperkenalkan PT Pos Indonesia kepada pengunjung.

Sekadar nostalgia?
Pensiunan pejabat di Kantor PTT, Goerjama (82), mengatakan, sebelum dipajang di museum seperti sekarang, barang- barang itu hanya ditumpuk di gudang. Kebetulan, posisinya saat itu adalah sebagai Kepala Bagian Pemeriksaan dan Pengawasan. "Jabatan saya memungkinkan untuk mengambil keputusan sebuah barang dihancurkan atau tidak," kata Goerjama yang aktif di lembaga pemerhati peninggalan bersejarah, Bandung Heritage.

Sebelum menjadi museum pos (saja), kata Goerjama, ruangan itu difungsikan sebagai Museum Pos, Telepon, dan Telegrap (PTT). Museum PTT didirikan tahun 1931. "Isinya kebanyakan peralatan telegrap," kata Goerjama.

Perang pascakemerdekaan membuat kondisi museum PTT tidak keruan. Koleksi peralatan telegrap hilang entah ke mana. Museum Pos sendiri baru diresmikan pada tanggal 27 September 1983 dengan nama Museum Pos dan Giro. Namanya berubah menjadi Museum Pos Indonesia seiring perubahan status Perusahaan Umum Pos dan Giro menjadi PT Pos Indonesia pada Juni 1995.

Sekarang, ketika teknologi informasi sudah sangat meluas, seperti penggunaan surat elektronik dan layanan pesan singkat via telepon seluler yang sifatnya menjadi pribadi dan dijamin sampai ke tujuan, peran pos menjadi surut. Surat-menyurat "ala pos" bisa jadi dianggap sudah sangat kuno.

"Sejak adanya telepon dan internet, pos memang kehilangan banyak peminat. Namun, pos tak akan pernah mati," kata Goerjama yakin. Jika pun nantinya punah, di museum ini orang bisa menggali kekayaan sejarah....

LIS DHANIATI
Sabtu, 12 Mei 2007
© 2002 Harian KOMPAS

***

Museum Pos Indonesia
Alamat: Jl. Cilaki No. 73 Bandung Wetan
Telp.: 022.4206195





Album perangko





Kompleks Gedung Sate





Pasar terapung Banjarmasin
1 Reply





Pasola Sumba





Kantor Filateli Jakarta

Aucun commentaire: